Friday, November 2, 2012

Andira Pramatyasari: Cacat Mata Bukan Halangan untuk Maju

Andira sedang membaca SMS via screen reader. (VIVAnews/Muhamad Solihin)
Andira sedang membaca SMS via screen reader. (VIVAnews/Muhamad Solihin)

VIVAlife - Senin malam, 29 Oktober 2012. AndiraPramatyasari menghampiri pintu gerai OldTown Coffee di Terminal 2 Bandara SoekarnoHatta, Banten. Ia didampingi oleh ibunya, DewiTriyanti.

Tak ada yang berbeda dari fisik Andira.Penampilannya pun modis khas anak masa kini.Legging hitam, dalaman kaos cokelat tanah, dan cardigan motif loreng warna cokelat. Sepatunyapun merek ternama, Tory Burch.

Andira hendak meninggalkan Jakarta. Ia diundanguntuk menghadiri konvensi di Incheon, KoreaSelatan, Global IT Challenge for Youth withDisabilities. Hingga 2 November 2012, Andiraakan berada di negeri penghasil demam hallyu.

Terlecut oleh Helen Keller

Tidak bisa melihat seolah bukan halangan bagigadis kelahiran 20 tahun yang lalu ini.Sehari-harinya, Dira, panggilan akrabnyamenempuh pendidikan di Fakultas HukumUniversitas Indonesia program kekhususan Hukum KegiatanEkonomi. Kini, ia sudah duduk di semester ke-7 dan sedang menyelesaikan skripsi. Ia bisa dengan mudah mengikutipelajaran yang diberikan oleh dosen di kampus.

Keinginannya untuk masuk di Fakultas Hukum inipun sebenarnya sudah ada sejak lama, sejak SMA.Untuk itu, Andira berjuang keras agar cita-citanya ini tercapai. Karena menyandang cacat mata, cara belajar Andira memangberbeda bila dibandingkan dengan teman-temannya. Saat dosen memberikan kuliah, ia tekunmerekamnya di dalam handphone. Usai kuliah,hasil rekaman tersebut didengarkannya kembalidan dicatat.

Kemajuan teknologi juga memudahkan hidup Dira. Ia kini 'bergaul' akrab dengan aplikasi software screen reader. Lewat alat ini, Dira seolah-olah mempunyai penglihatan. Screen reader akan mengubah teks menjadi suara. Dira pun bisa membaca BBM, SMS, bahkan diktat kuliah.

Selain itu, Dira juga bisamelakukan pencarian melalui situs pencariGoogle, menjalin pertemanan melalui situs sosialmedia Facebook maupun Twitter.

"Tinggal pakai earphone atau speaker, nantiaplikasinya akan membacakan apa yang adaditampilan. Ini sangat membantu tuna netra untuktahu setiap perkembangan yang ada," ujar Dira.

Dulunya, sebelum ada aplikasi ini, nenek dan ibunyalah yang selalu membacakan mata pelajaran yang akandipelajarinya. Kini, bahan-bahan kuliah tinggal di-scan dan di-save di dalam netbook. Jika ingin dipelajari tinggal disinkronisasi dengan aplikasi screen reader tersebut.

Anak tunggal ini memang berkemauan sangat keras.Dira terinspirasi oleh Helen Keller. Buatnya,penulis wanita asal Amerika ini adalah panutanhidupnya. Walau hidup pada zaman yang belumsecanggih sekarang, Helen Keller mampu menjadipenyandang disabilitas yang meraih gelarsarjana.

"Optimism is the faith that leads to chievement.Nothing can be done without hope andconfidence". Kata-kata Helen Keller ini yangmelecut Dira untuk jadi lebih maju.

Karena kemauan kerasnya ini, Dira bahkan bersekolah di sekolah umum sejak SD. Awalnya, Dira memangbersekolah di sekolah khusus. Namun, tantanganuntuk tak kalah dari anak normal lainnyayang memacu Dira untuk maju. Saat itu, Dira tertantang untuk mengikuti program di SLB dengan mata pelajaranseperti halnya sekolah umum.

Kelas2 SD, Dira bisa mengikuti untuk 1 mata pelajaran,kelas 3 SD menjadi 2 mata pelajaran, hinggaakhirnya kelas 5 SD, semua mata pelajaran SDumum bisa diikutinya dengan baik. Dilanjutkan ke bangku SMP,SMA, dan kuliah seperti saat ini.

Dira terdeteksi menderita cacat mata ini saatberusia 3 bulan. Saat itu ia tidak mau makan. Saat diperiksa oleh dokter anak, Dira tidakmemberikan respon saat didekatkan mainan kematanya. Sejak itulah, Dira dinyatakan menjadipenyandang cacat netra.Hal yang tentu saja membuat shock keluarga, karena Dira lahir normal.

Ibunya, Dewi Triyanti, dan neneknya, RiekSulandri, akhirnya bahu membahu untukmenjaga Dira. Sehari-harinya Dira dijaga sang nenek, sedangkan ibunya bekerja. Saking dekatnya Dira dengansang nenek, ia kerap memanggil ibu kepada RiekSulandri. Ibu dan neneknya pun selalu memperlakukan Dira tak beda dengan sepupunya yang normal.

Kini, Dira sangat mandiri. Ia bisa mandi sendiri, memakai bajusendiri, dan juga jago bermain piano. Gadis yangbercita-cita di bekerja di konsultan hukum inipun bisa berjalan tanpa bantuan tongkat penuntun. Dirumah, di kampus, ataupun di tempat umum. Namun, untuk tempat yang dirasa masih asing, Dira akanberjalan dengan menggandeng tangan teman seperjalanannya.

Aktif di Kartunet

Selain kuliah, Dira juga aktif di luar kampus.Salah satunya adalah di komunitas komunitasKarya Tuna Netra (Kartunet). Di sini, ia bahkan didaulat menjadi media relation atau humas. Dirabertanggung jawab untuk menyampaikan informasikegiatan Kartunet melalui situs layanan VoIP,Skype maupun situs mikro blogging, Twitter.

Kartunet sendiri adalah sebuah organisasi untukmengembangkan potensi dan kemampuan penyandang disabilitas dalam bisang penulisan, teknologi,seni, dan perekonomian mandiri. Media online ini memang khusus dibuat dandikelola oleh penyandang disabilitas, terutamacacat mata. Mereka pun tetap bisa 'menikmati' duniadengan cara mereka sendiri.

Teknologi memang membuat semuanya bisa menjadilebih mudah. Begitu pun dengan Dira dan teman-temannya penyandang disabilitas ini. Merekalincah memainkan keyboard di desktop, laptop atau netbook. Tak ada kata hambatan dalammenjelajah dunia maya bagi mereka.

Lewatscreen reader, mereka asyik melakukanpencarian melalui situs pencari Google, menjalinpertemanan melalui situs sosial media Facebookmaupun Twitter.

"Langsung di-translate ke bahasa Indonesia dantinggal didengarkan lewatearphoneatauspeaker,jadi kami bisa tahu perkembangan yang ada," kataDira.

Perjuangan Dira untuk menjadi perempuan hebatini memang sangat inspiratif. Seperti yangtergambar dalam video di bawah ini:


Via: Andira Pramatyasari: Cacat Mata Bukan Halangan untuk Maju

Share this

0 Comment to "Andira Pramatyasari: Cacat Mata Bukan Halangan untuk Maju"

Post a Comment